Pendekatan Ilmu Kedokteran: Saat Dimana Jantung Berhenti Memompa dan Paru Berhenti Berhembus (red-Kematian)


Fitrah manusia adalah terlahir sebagai makhluk yang dikarunia akal untuk berpikir, semua karunia Allah SWT. kepada kita sudah seharusnya menjadi alasan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah. Banyak alasan yang menjadikan keimanan kita menjadi naik tapi tak sedikit pula alasan tersebut malah menjadikan keimanan seseorang menjadi turun.
Sahabat Abu ad-Darda` Uwaimir al-Anshaari rahimahullah berkata,
الإِيْمِانُ يَزْدَادُ وَ يَنْقُصُ
Iman itu bertambah dan berkurang.

Salah satu tanda kekuasaan Allah adalah ditetapkanNya kematian bagi setiap makhluk yang hidup. Dengan memahami kematian dan apa yang terjadi menjelang kematian maka keimanan kita dapat menjadi bertambah dan tidak menutup kemungkinan malah menjadi berkurang. Iman akan bertambah jika setelah memahami kematian maka semakin meningkat ibadah kita sebagai bentuk persiapan di akhirat kelak. Namun sebaliknya, iman kita terindikasikan sedang turun jika setelah mengenali kematian maka kita semakin takut akan kematian dan semakin mencintai kehidupan dunia.
Menjelaskan perihal menjelang kematian umumnya kita akan memasuki ranah penjelasan tentang hal ghaib. Ini terjadi jika sudut pandang yang kita ambil adalah pendekatan ruh dan sakaratul maut, membahas ruh berarti kita membahas sesuatu yang sedikit saja ilmu yang Allah berikan kepada kita untuk memahaminya. Maka sangat besar kemungkinan saat kita membahas perihal menjelang kematian dan kaitannya dengan keimanan, setiap orang akan mengarah kepada dosa, ibadah, dan akhirat.
Ilmu berkembang dengan pesat, begitu juga tentang kematian. Dalam ilmu kedokteran, dikenal sub ilmu dibawah ilmu forensik yang dikenal dengan tanatologi. Tanatos diambil dari bahasa Yunani yang berarti “mati” dan logos berarti “ilmu”, Tanatologi bermakna  ilmu yang mempelajari tentang hal-hal yang ada hubungannya dengan kematian dan perubahan yang terjadi setelah seseorang mati dan faktor-faktor yang memengaruhinya.
Menurut ilmu tanatologi, kematian dibagi menjadi mati somatis (klinis), mati suri, mati seluler, mati serebral dan mati batang otak. Kematian yang dinyatakan secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi adalah mati batang otak.
Seorang yang telah ditetapkan mengalami kematian batang otak berarti secara klinis dan legal-formal telah meninggal dunia. Seorang dikatakan mati/meninggal dunia, bila fungsi pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau atau terbukti telah terjadi kematian batang otak.
Di Indonesia telah ditetapkan “Seorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantung, sirkulasi dan sistem pernafasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang otak telah dapat dibuktikan (UU No. 36/2009 tentang Kesehatan). Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 37 tahun 2014 tentang “Penentuan Kematian dan Pemanfaatan Organ Donor” Pasal 9 dijelaskan bahwa penentuan kematian batang otak hanya dapat dilakukan oleh tim dokter (yang melibatkan dokter spesialis anastesis dan dokter spesialis syaraf).
Ada tiga gejala klinis utama kematian batang otak yaitu koma dalam, hilangnya seluruh refleks batang otak, dan apnea. Koma dalam dipahami sebagai tidak adanya respon alat gerak manusia ketika dirangsang nyeri di alat gerak maupun diatas pelipis mata. Tanda hilang refleks batang otak salah satunya adalah membesarnya pupil mata dan tidak bereaksi dengan cahaya. Sedangkan apnea diartikan sebagai berhentinya nafas.
Tidak ada tanda-tanda kematian yang pasti karena kematian itu tidak ada yang tau kapan. Tidak juga bisa diperbaiki sehingga kematian menjadi berhenti, dan tidak juga diusahakan sehingga kematian datang pasti. Ini telah diberitahu oleh Allah dalam firmanNya dalam surat Al-‘Araf ayat 34:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ ۖ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
Artinya: “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya
Allah juga memperingatkan kita bahwa tidak ada yang tau dimana seseorang akan mati. Sehingga tidak mungkin bagi seseorang untuk berencana mati tanpa izin dari Allah. Allah berfirman dalam surat Al-Lukman ayat 34:
...وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ...
Artinya: “...Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati...”
Namun, kematian bisa terjadi secara berulang setiap waktunya terhadap orang yang berbeda-beda pada suatu tempat. Inilah yang kemudian membuat seorang peneliti di Eropa tertarik untuk membuat sebuah studi penelitian yang meneliti bagaimana perubahan-perubahan yang terjadi pada seorang yang divonis menderita penyakit kronis kanker dan telah memasuki stadium terminal. Di dalam jurnalnya, peneliti tersebut menyimpulkan dengan sangat hati-hati tanpa terkesan men-genaralisir.
Penulis mengutip kata peneliti tersebut: “Penelitian observasi terhadap pasien kanker stadium terminal, menunjukkan rata-rata pasien mengalami pergerakan tulang rahang 8 jam menjelang vonis mati, kepucatan tangan dan kaki 5 jam menjelang vonis mati dan tidak adanya detak nadi 3 jam menjelang vonis mati. Penurunan kesadaran dalam 24 jam menjelang kematian terjadi pada 84% pasien dan terjadi dalam 6 jam menjelang kematian pada 92% pasien”
Tiga hal tersebut diatas yaitu pergerakan tulang rahang, kekakuan tangan dan kaki serta tidak adanya detak nadi sering dijumpai pada seseorang menjelang kematian. Jika diurut untuk lebih mudah dipahami, maka akan terbentuk estimasi waktu sebagai berikut:
Di dua puluh empat jam menjelang kematian, pasien akan mengalami penurunan kesadaran, gejalanya adalah pasien tidak bisa merespon dengan normal baik itu membuka matanya, menggerakkan tangan dan kakinya maupun mengucapkan kata-kata.
Delapan jam menjelang kematian, maka akan muncul pergerakan tulang rahang dari pasien, gambarannya seolah-olah pasien sedang memakan udara, dalam istilah medis disebut “involuntary mandibular movement” pergerakan tulang rahang secara tidak sadar.
Lima jam menjelang kematian maka akan dijumpai kepucatan pada tangan dan kaki, tangan dan kaki besar kemungkinan akan teraba dingin pada saat tersebut. Dalam medis, hal ini dikenal dengan istilah acrocyanosis.
Tiga jam menjelang kematian, detak nadi akan menghilang. Diawal-awalnya akan menghilang di pembuluh nadi pergelangan tangan, lama-kelamaan akan berkurang dan menghilang di leher, hingga akhirnya jantung sebagai pemompa darah dalam nadi tersebut berhenti.
Begitulah sedikit gambaran tentang bagaimana perihal menjelang kematian seseorang yang dijelaskan dalam sudut pandang ilmu kedokteran.
Men-generalisir hasil observasi ini untuk seluruh proses kematian jelas bukan hal yang bijak. Namun, inti dari model observasi seperti ini adalah murni mengkaji dan menelaah proses bagaimana jasad sebagai makhluk dhahir mengalami proses menjadi apa yang disebut fana dengan cara yang ilmiah dan analisa data terukur.
Semoga bermanfaat.
Wallahu muwaafiq wallahu ‘a`lam bish shawab
Pendekatan Ilmu Kedokteran: Saat Dimana Jantung Berhenti Memompa dan Paru Berhenti Berhembus (red-Kematian)

Tidak ada komentar